Fakta tentang joko widodo
Yogya, KU
Menjadi Walikota Dengan Niat Yang Mulia.
Biasa saja. Saya pikir tidak ada yang perlu disikapi berlebihan dengan jabatan yang saya pegang sekarang ini. Yang jelas, tanggung jawab saya sekarang menjadi sangat berat. Karena saya mengemban amanah dari masyarakat Solo untuk memimpin mereka menuju Solo yang lebih baik, maju dan mensejahterahkan seluruh lapisan masyarakat. Amanah itu saya terima dengan senang hati dan dengan penuh tanggung jawab.
Demikian kalimat-kalimat bernada filosofis tinggi yang meluncur dari mulut Ir. H. Joko Widodo ketika menjawab pertanyaan Kabar UGM, tentang kesannya sebagai Walikota Solo. Ungkapan tersebut menggambarkan secara plastis kerendahatian sang walikota, yang lebih popular disebut Pak Jokowi. Kerendahatian Pak Jokowi, ternyata, bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata saja. Ia bisa dirasakan juga oleh rakyat kecil. Dengarlah komentar para tukang becak di pinggir jalan utama kota Solo. “Pak Jokowi sangat dekat dengan masyarakat Solo lapis bawah. Dia sangat lekat di hati masyarakat Solo,” ujar seorang tukang becak.
Bagi masyarakat Solo, Pak Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan mereka. Mereka menemukan keperibadian yang sangat menarik pada diri Pak Jokowi: mau merangkul mereka membangun Solo. Lebih dari itu, mereka sering kali menerima sembako gratis dari Pak Jokowi.
Sebelum menjadi walikota, Pak Jokowi dikenal sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang mebel. ”Saya eksportir mebel. Aktivitas saya yang lain ya,…berorganisasi. Terakhir saya adalah ketua ASMINDO Surakarta,” ujar laki-laki kelahiran 21 Juni 1961 ini.
***
Pak Jokowi adalah lulusan Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985. Dia masuk ke Fakultas Kehutanan UGM bertolak dari keinginannya sendiri untuk menjadi tukang kayu. Kebetulan orangtuanya menekuni bisnis perkayuan, “Orangtua saya tukang kayu, sehingga ada bau-bau kayunya,” kata Pak Jokowi tersenyum.
Saat menjadi mahasiswa, Jokowi muda sudah belajar hidup prihatin. Prinsip hidup ini menjadi pengalaman berharga buat dirinya dalam berwirausaha, “Saya kuliah ketika kemampuan ekonomi orangtua tidak hanya terbatas tetapi minus. Karena itu, saya memacu diri supaya tetap bersemangat belajar dan cepat lulus. Maklum, kalau kuliah semakin lama ongkos yang dikeluarkan kan semakin banyak. Kuliah di kehutanan UGM bagi saya sesuatu yang menyenangkan, mengingat saya memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang turun temurun menggeluti perkayuan. Dukanya ya,…sebagai mahasiswa yang ekonominya minus, saya harus berhitung betul soal pengeluaran. Kalau ingin apa…ya harus mikir bener karena keterbatasan yang ada. Tetapi, ternyata kebiasaan kuliah itu sangat bermanfaat ketika saya sudah menggeluti dunia bisnis,” kata eksportir mebel ini.
Melihat posisi Pak Jokowi sekarang, bisa saja kita berpikir bahwa sewaktu kuliah dulu Pak Jokowi menjadi aktivis mahasiswa. Bukankah sudah jamak bahwa mahasiswa yang pernah menjadi aktivis ketika kuliah terjun ke dunia politik? Ternyata perkiraan kita keliru. Semasa kuliah dulu, Pak Jokowi lebih senang ikut kegiatan-kegiatan minat dan bakat seperti naik gunung dan sebagainya. “Kegiatan mahasiswa saya naik gunung, main basket dan camping,” ujar lulusan SDN 111 Tirtoyoso Solo ini.
Setelah menjadi Sarjana Kehutanan UGM, Pak Jokowi tidak langsung bekerja di Solo. Dia merantau dulu ke Aceh. “Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan UGM saya bekerja di sebuah BUMN di Aceh. Kemudian saya kembali ke Solo dan bekerja di CV. Roda Jati, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan. Sekitar tahun 1998, saya kemudian berusaha secara mandiri di bidang permebelan, khususnya sebagai eksportir. Alhamdulillah, setelah mengalami jatuh bangun di sana, bisnis yang saya tekuni ini mampu memberi kehidupan bagi saya dan keluarga,” kata suami Iriana ini.
***
Sekalipun Pak Jokowi tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa sewaktu menjadi mahasiswa dulu, tidak berarti dia buta politik. Dia juga bukan menabukan dirinya mengikuti politik praktis. Dia malah bersedia terjun ke dunia politik praktis. “Semua orang bisa saja terjun ke dunia politik. Saya memang ikut berpartisipasi dalam proses pilkada di Surakarta, karena ada permintaan-permintaan serius dari elemen dan komponen masyarakat. Untuk menjadi wali kota, memang saya harus punya partai yang membawa saya,” tutur lulusan SMPN 1 Solo ini.
Lalu, apa yang mendorong Pak Jokowi mencalonkan dirinya jadi Walikota Solo? “Sebagai alumnus Fakultas Kehutanan UGM yang bergerak ke bidang politik, memang saya punya obsesi dan alasan. Pertama, saya sangat serius untuk maju. Saya ingin mengakomodasikan aspirasi-aspirasi serius yang muncul dari banyak pihak, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau organisasi. Yang kedua, saya ingin bersama-sama seluruh komponen masyarakat membawa Solo ke arah yang lebih baik, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Yang ketiga, saya ingin pemerintahan ini diurus secara clean, jernih, tegas dan tanpa kompromi, sehingga good governance dan clean goverment benar-benar terwujud,” tambah lulusan SMAN 6 Solo ini.
Setelah menjadi walikota, Pak Jokowi menyadari bahwa banyak kalangan masyarakat yang kesulitan ekonomi akibat krisis moneter yang tak kunjung selesai ditambah kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM. Dia pun langsung bertekad mengantisipasi keadaan ini. Dia segera berusaha mensejahterakan masyarakat Solo yang dipimpinnya, “Saya kira di tempat kita (Solo-red), yang jelas kita berusaha bagaimana menarik investasi yang sebesar-besarnya dalam rangka memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya pada masyarakat. Caranya dengan pemberian layanan perizinan. Bila dulu, perizinan akan keluar selama kurang lebih 6 bulan, sekarang ini urusan perizinan bisa selesai dalam tempo 4-6 hari. Ini terobosan yang kita lakukan,” kata bapak dari Gibran Rakabumi Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep ini.
***
Sampai sekarang, sudah 21 tahun Pak Jokowi meninggalkan kampus biru. Selama itu, dia tidak tahu banyak perkembangan yang terjadi di UGM. Dia juga tidak tahu kalau almamaternya telah menjadi PT. BHMN, “Terus terang saya kurang mengikuti perkembangan ketika UGM menjadi PT. BHMN. Menurut saya, apapun statusnya, yang penting di era globalisasi seperti saat ini, UGM selain harus mampu mengikuti trend sebagai sebuah perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat global, juga jangan sampai meninggalkan “roh”-nya sebagai perguruan tinggi yang berorientasi kerakyatan. Karena orientasi inilah dulu UGM kerap disebut dengan istilah universitas ndeso. Orientasi itulah yang membuat UGM dan lulusannya bisa mengakar dan selalu nyambung dengan persoalan-persoalan kerakyatan. Sesuatu yang saya kira telah membuat nama UGM disegani hingga kini,” ungkap Pak Jokowi.
Mungkin karena rasa cintanya pada UGM, Pak Jokowi kemudian mengusulkan agar UGM menjadi entrepreneurship university. “Selain itu UGM harus mulai dikembangkan kearah Entrepreneurship University, dimana mahasiswa yang lulus dari UGM tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain,” tambahnya.
Akhirnya, Pak Jokowi berpesan kepada mahasiswa UGM, agar mereka menyiapkan pengetahuan yang banyak dan mental yang kuat selama belajar di UGM. ”Tantangan yang dihadapi adik-adik saya para mahasiswa di masa depan bakal lebih berat dibandingkan tantangan generasi saya dulu. Karena itu, tidak ada kata lain kecuali menyiapkan pengetahuan, keterampilan, mental dan semangat juang yang prima untuk bisa menghadapi tantangan tersebut,” tambahnya (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar).
sumber : http://tokohsurakarta.blogspot.com
Menjadi Walikota Dengan Niat Yang Mulia.
Biasa saja. Saya pikir tidak ada yang perlu disikapi berlebihan dengan jabatan yang saya pegang sekarang ini. Yang jelas, tanggung jawab saya sekarang menjadi sangat berat. Karena saya mengemban amanah dari masyarakat Solo untuk memimpin mereka menuju Solo yang lebih baik, maju dan mensejahterahkan seluruh lapisan masyarakat. Amanah itu saya terima dengan senang hati dan dengan penuh tanggung jawab.
Demikian kalimat-kalimat bernada filosofis tinggi yang meluncur dari mulut Ir. H. Joko Widodo ketika menjawab pertanyaan Kabar UGM, tentang kesannya sebagai Walikota Solo. Ungkapan tersebut menggambarkan secara plastis kerendahatian sang walikota, yang lebih popular disebut Pak Jokowi. Kerendahatian Pak Jokowi, ternyata, bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata saja. Ia bisa dirasakan juga oleh rakyat kecil. Dengarlah komentar para tukang becak di pinggir jalan utama kota Solo. “Pak Jokowi sangat dekat dengan masyarakat Solo lapis bawah. Dia sangat lekat di hati masyarakat Solo,” ujar seorang tukang becak.
Bagi masyarakat Solo, Pak Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan mereka. Mereka menemukan keperibadian yang sangat menarik pada diri Pak Jokowi: mau merangkul mereka membangun Solo. Lebih dari itu, mereka sering kali menerima sembako gratis dari Pak Jokowi.
Sebelum menjadi walikota, Pak Jokowi dikenal sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang mebel. ”Saya eksportir mebel. Aktivitas saya yang lain ya,…berorganisasi. Terakhir saya adalah ketua ASMINDO Surakarta,” ujar laki-laki kelahiran 21 Juni 1961 ini.
***
Pak Jokowi adalah lulusan Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985. Dia masuk ke Fakultas Kehutanan UGM bertolak dari keinginannya sendiri untuk menjadi tukang kayu. Kebetulan orangtuanya menekuni bisnis perkayuan, “Orangtua saya tukang kayu, sehingga ada bau-bau kayunya,” kata Pak Jokowi tersenyum.
Saat menjadi mahasiswa, Jokowi muda sudah belajar hidup prihatin. Prinsip hidup ini menjadi pengalaman berharga buat dirinya dalam berwirausaha, “Saya kuliah ketika kemampuan ekonomi orangtua tidak hanya terbatas tetapi minus. Karena itu, saya memacu diri supaya tetap bersemangat belajar dan cepat lulus. Maklum, kalau kuliah semakin lama ongkos yang dikeluarkan kan semakin banyak. Kuliah di kehutanan UGM bagi saya sesuatu yang menyenangkan, mengingat saya memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang turun temurun menggeluti perkayuan. Dukanya ya,…sebagai mahasiswa yang ekonominya minus, saya harus berhitung betul soal pengeluaran. Kalau ingin apa…ya harus mikir bener karena keterbatasan yang ada. Tetapi, ternyata kebiasaan kuliah itu sangat bermanfaat ketika saya sudah menggeluti dunia bisnis,” kata eksportir mebel ini.
Melihat posisi Pak Jokowi sekarang, bisa saja kita berpikir bahwa sewaktu kuliah dulu Pak Jokowi menjadi aktivis mahasiswa. Bukankah sudah jamak bahwa mahasiswa yang pernah menjadi aktivis ketika kuliah terjun ke dunia politik? Ternyata perkiraan kita keliru. Semasa kuliah dulu, Pak Jokowi lebih senang ikut kegiatan-kegiatan minat dan bakat seperti naik gunung dan sebagainya. “Kegiatan mahasiswa saya naik gunung, main basket dan camping,” ujar lulusan SDN 111 Tirtoyoso Solo ini.
Setelah menjadi Sarjana Kehutanan UGM, Pak Jokowi tidak langsung bekerja di Solo. Dia merantau dulu ke Aceh. “Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan UGM saya bekerja di sebuah BUMN di Aceh. Kemudian saya kembali ke Solo dan bekerja di CV. Roda Jati, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan. Sekitar tahun 1998, saya kemudian berusaha secara mandiri di bidang permebelan, khususnya sebagai eksportir. Alhamdulillah, setelah mengalami jatuh bangun di sana, bisnis yang saya tekuni ini mampu memberi kehidupan bagi saya dan keluarga,” kata suami Iriana ini.
***
Sekalipun Pak Jokowi tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa sewaktu menjadi mahasiswa dulu, tidak berarti dia buta politik. Dia juga bukan menabukan dirinya mengikuti politik praktis. Dia malah bersedia terjun ke dunia politik praktis. “Semua orang bisa saja terjun ke dunia politik. Saya memang ikut berpartisipasi dalam proses pilkada di Surakarta, karena ada permintaan-permintaan serius dari elemen dan komponen masyarakat. Untuk menjadi wali kota, memang saya harus punya partai yang membawa saya,” tutur lulusan SMPN 1 Solo ini.
Lalu, apa yang mendorong Pak Jokowi mencalonkan dirinya jadi Walikota Solo? “Sebagai alumnus Fakultas Kehutanan UGM yang bergerak ke bidang politik, memang saya punya obsesi dan alasan. Pertama, saya sangat serius untuk maju. Saya ingin mengakomodasikan aspirasi-aspirasi serius yang muncul dari banyak pihak, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau organisasi. Yang kedua, saya ingin bersama-sama seluruh komponen masyarakat membawa Solo ke arah yang lebih baik, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Yang ketiga, saya ingin pemerintahan ini diurus secara clean, jernih, tegas dan tanpa kompromi, sehingga good governance dan clean goverment benar-benar terwujud,” tambah lulusan SMAN 6 Solo ini.
Setelah menjadi walikota, Pak Jokowi menyadari bahwa banyak kalangan masyarakat yang kesulitan ekonomi akibat krisis moneter yang tak kunjung selesai ditambah kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM. Dia pun langsung bertekad mengantisipasi keadaan ini. Dia segera berusaha mensejahterakan masyarakat Solo yang dipimpinnya, “Saya kira di tempat kita (Solo-red), yang jelas kita berusaha bagaimana menarik investasi yang sebesar-besarnya dalam rangka memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya pada masyarakat. Caranya dengan pemberian layanan perizinan. Bila dulu, perizinan akan keluar selama kurang lebih 6 bulan, sekarang ini urusan perizinan bisa selesai dalam tempo 4-6 hari. Ini terobosan yang kita lakukan,” kata bapak dari Gibran Rakabumi Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep ini.
***
Sampai sekarang, sudah 21 tahun Pak Jokowi meninggalkan kampus biru. Selama itu, dia tidak tahu banyak perkembangan yang terjadi di UGM. Dia juga tidak tahu kalau almamaternya telah menjadi PT. BHMN, “Terus terang saya kurang mengikuti perkembangan ketika UGM menjadi PT. BHMN. Menurut saya, apapun statusnya, yang penting di era globalisasi seperti saat ini, UGM selain harus mampu mengikuti trend sebagai sebuah perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat global, juga jangan sampai meninggalkan “roh”-nya sebagai perguruan tinggi yang berorientasi kerakyatan. Karena orientasi inilah dulu UGM kerap disebut dengan istilah universitas ndeso. Orientasi itulah yang membuat UGM dan lulusannya bisa mengakar dan selalu nyambung dengan persoalan-persoalan kerakyatan. Sesuatu yang saya kira telah membuat nama UGM disegani hingga kini,” ungkap Pak Jokowi.
Mungkin karena rasa cintanya pada UGM, Pak Jokowi kemudian mengusulkan agar UGM menjadi entrepreneurship university. “Selain itu UGM harus mulai dikembangkan kearah Entrepreneurship University, dimana mahasiswa yang lulus dari UGM tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain,” tambahnya.
Akhirnya, Pak Jokowi berpesan kepada mahasiswa UGM, agar mereka menyiapkan pengetahuan yang banyak dan mental yang kuat selama belajar di UGM. ”Tantangan yang dihadapi adik-adik saya para mahasiswa di masa depan bakal lebih berat dibandingkan tantangan generasi saya dulu. Karena itu, tidak ada kata lain kecuali menyiapkan pengetahuan, keterampilan, mental dan semangat juang yang prima untuk bisa menghadapi tantangan tersebut,” tambahnya (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar).
sumber : http://tokohsurakarta.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment